Thursday, March 02, 2017

Guru Honorer

Analisa, Koran Kedaulatan Rakyat, Kamis 3/3/2017

oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro

MEMPEROLEH tunjangan dan kesejahteraan pada prinsipnya sudah tertulis dalam Undang-undang (UU) Guru dan Dosen. Pasal 14 Ayat (1) a menyebutkan, dalam melaksanakan tugas profesionalnya guru dan dosen berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.

Pasal 15 (1) menegaskan, penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

Demikian halnya terhadap guru berstatus honorer. Sesuai peran dan tanggungjawabnya terhadap peserta didik, tentunya upah (gaji) yang didapat harus layak dan pantas. Seperti halnya tuntutan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Yogyakarta yang berharap Pemerintah Pusat dapat memberikan aturan hukum yang jelas berkenaan dengan gaji guru honorer (KR 23/2/17).

Dasar dari pemberian insentif (gaji) guru honorer seharusnya tidak melulu berdasarkan Peraturan Daerah (Pemda) masing masing. Meski dalam hal ini pemda memiliki hak otonom dalam menentukan aturan yang akan diperlakukan, namun jangan lupa bahwa segala produk hukum harus mengacu kepada UU No 12 tahun 2012 tentang tata urutan perundang-undangan Negara Republik Indonesia yang berlaku secara holistik. Maka wajar upaya dari PGRI meminta aturan hukum (acuan) yang baku sebagai dasar memberikan upah (gaji) yang layak bagi guru honorer.

Bila semua daerah selalu mengacu kepada keputusannya masing-masing, maka bisa terjadi saling berbeda, ada yang untung, ada yang rugi. Menyangkut gaji guru honorer umumnya dirasa merugikan. Pasalnya sering diketemukan gaji guru honorer masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) setempat.

Menjadi dasar pemikiran lain, bahwa guru honorer, idealnya mendapatkan kelayakan standar gaji yang baku dan jelas, sehingga akan berkolaborasi dan berimplikasi dalam kinerja di lapangan dalam melakukan pendidikan, pengajaran dan pendampingan kepada peserta didik.

Guru honorer dan senior (lebih dari dua puluh tahun) semakin butuh suntikan dana guna membantu menopang kehidupan ekonomi. Sebuah berita ironis, guru honorer masih mendapatkan gaji di bawah UMR. Berarti nasib mereka bagaikan hidup enggan matipun tidak mau. Kalkulasi pendapatan yang diperoleh jelas tidak memungkinkan untuk mampu memenuhi kewajaran hidup wajar dan selayaknya. Lalu mau dibawa ke mana pendidikan kita, bila guru masih belum sejahtera secara merata.

Padahal tuntutan keprofesionalan guru tidak ada yang membedakan di mata masyarakat dan UU. Guru harus mampu berkompetensi profesional, pedagogis, pribadi dan sosial. Namun sayangnya penilaian itu kandas saat dihubungkan dengan kewajiban negara dalam memberikan penghargaan (insentif) dan gaji yang layak, karena masih terpasung otonomi daerah.

Sependapat dengan sekretaris PGRI Yogyakarta, Sudarto bahwa peningkatan kesejahteraan setelah menjadi ranah kebijakan Kemendikbud. Dapat menjadi motivasi sendiri dalam meningkatkan kualitas dan kompetensi diri. Implikasinya pada peningkatan kualitas pendidikan dan lulusan yang dihasilkan (KR 23/2/17).

Karena itu Pemerintah jangan hanya menutut honorer harus profesional dengan mengabaikan kesejahteraan. Karena selain mendidik, masih banyak tuntutan lain yang diembankan pada pundak guru (honorer). Sesuai dengan profesionalitas guru untuk mengajar, mendampingi, membimbing, mengevaluasi dan melatih peserta didik menjadi insan yang mandiri dan berakhlak mulia.

Tuntutan keprofesionalan kewajiban guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) selalu menjadi sorotan. Dari penilaian profesionalisme guru melalui uji sertifikasi, sikap, perilaku, mental dan keberhasilan lulusan. Guru masih selalu dipersalahkan bila peserta didik melakukan kesalahan, penyimpangan apalagi bila menjurus tindakan kriminal. Masalah tanggung jawab yang sering terjadi ini tidak membedakan status guru termasuk dalam kewajiban di hadapan peserta didik dan orangtua/wali.

Karena bila sudah menyangkut hak, kewajiban dan kesejahteraan jurang pemisah sangat nyata. Insentif saja dibatalkan, apalagi kesempatan menduduki jabatan dan kepanitiaan dalam kegiatan di sekolah dan upah layak. Guru honorer jangan terbelenggu kemiskinan finansial, kultural, kreatifitas, emosional, intelektual, material dan spiritual. Guru honorer juga manusia.

(FX Triyas Hadi Prihantoro. Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 3 Maret 2017)

Kepala Sekolah Sebagai Manajer dan Inspirator

OPINI, Koran Joglosemar, Kamis 3/3/2017

oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro

Salah satu postingan kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendi yang beredar di kalangan pendidik/ guru. Bahwa Kepala Sekolah (KS) tidak boleh mengajar tetapi sebagai manajer dan inspirator. Padahal dalam PP no 74 tahun 2008 KS wajib mengajar 6 jam ekuivalen dengan 18 jam, dari total kewajiban guru 24 jam pelajaran perminggu. Bagaimana Implementasinya di lapangan? Apakah sejalan dengan kebijakan yang diharapkan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dari arahan ini berarti KS dituntut memiliki kompetensi kepemimpinan dan kreatifitas selain Kompetensi Akademik. Hal itu tidak lepas dari perubahan jaman dan perubahan teknologi informasi komunikasi (TIK) yang begitu cepat dan massif. KS yang berpola lama akan tergilas oleh jaman karena ketidak mampuan menterjemahkan berbagai informasi dan perubahan itu sendiri. Kedua peran yang melekat wajib teraktualisasi, demi idealisme jalannya roda manajemen sekolah.

Secara umum, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KS, mengacu pada Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan sekolah, meliputi (1) perencanaan program, (2) pelaksanaan rencana kerja, (3) pengawasan dan evaluasi, (4) kepemimpinan sekolah, (5) sistem informasi sekolah. Selanjutnya butuh implementasi, pengawasan dan monitoring.

Peran KS diatur dalam Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Dalam Pasal 12 ayat (4), sebagai tambahan KS, diharapkan melaksanakan kinerja. Satu, usaha pengembangan sekolah/madrasah yang dilakukan selama menjabat kepala sekolah/madrasah; Dua, Peningkatan kualitas sekolah/madrasah berdasarkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan selama memimpin; dan ketiga usaha pengembangan profesionalisme sebagai kepala sekolah/madrasah.

Menurut Wahjosumidjo (2002:83) Kepala Sekolah merupakan pimpinan di sebuah lembaga dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran. Dengan demikian dapat didefinisikan, seorang tenaga professional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar. Hal itu dikuatkan T. Hani Handoko (1995:294) bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seorang untuk mempengaruhi orang lain supaya mencapai sasaran.

Maka dalam upaya sebagai manajer dan Inspirator, KS dituntut memiliki kompetensi kepemimpinan dan kreatifitas. Berdasar pola lama, dengan kebiasaan pengangkatan KS berdasarkan masa kerja, usia dan golongan yang telah di dapat. Dalam istilah jawa, menjadi pemimpin harus urut kacang. Senioritas KS menjadi orang muda harus menunggu, meski syarat administrasi, penilaian secara umum profesional dan memiliki visi misi teruji.

Sejalan revolusi mental. Pemilihan dan pengangkatan KS dengan sistem Kompetisi sudah dijalankan oleh Pemerintahan DKI Jakarta. Lelang jabatan menjadi program yang mengedepankan kualitas dan kapabilitas calon pemimpin. KS sekolah negeri di Jakarta harus mengikuti sistem lelang jabatan. Siapapun yang telah memenuhi administrasi boleh ikut lelang jabatan. Maka jangan heran bahwa di Jakarta, pempimpin di jajaran birokrasi banyak yang muda dari usia namun matang dalam program kerja dan visioner.

Seperti halnya yang dilakukan dalam lelang jabatan KS DKI Jakarta yang terlaksana sejak Joko Widodo menjadi Gubernur. Proses lelang berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 133 tahun 2013, menjelaskan persyaratan untuk mengikuti proses lelang jabatan kepala sekolah salah satunya dengan memiliki sertifikasi calon KS. Mendapatkan sertifikasi calon harus melewati seleksi yang tidak mudah. Salah satunya memiliki pengalaman menjadi wakil kepala sekolah minimal 2 tahun, memiliki penilaian kerja yang baik, dan rekomendasi dari kepala sekolah serta pengawas pendidikan. Saat proses seleksi (promosi) calon KS, melewati proses wawancara, penilaian akademik, penilaian karya tulis.

Kompetensi Ganda

Keharusan KS memiliki profesi ganda tidak akan mengalami kesulitan, karena menduduki Jabatan KS profesional. Keharusan pembuatan karya tulis, fit and proper test sebagai syarat calon KS membuktikan kemampuannya sebagai manajer dan inspirator.

Mendata Kepala Sekolah yang berkompetensi Ganda sebagai sebuah kebutuhan. Saatnya Dinas Pendidikan di daerah juga mulai mengapresiasi dari hasil diskusi yang diselenggarakan oleh Kemendikbud, tentang pentingnya aktualiasasi kompetensi KS. Dimulai dengan agenda menyeleksi guru yang dinilai memiliki kapasitas akademik dan potensi kepemimpinan untuk mengikuti pemberdayaan dan pengembangan Kepala Sekolah, secara terbuka dan transparan.

Dengan demikian, guru di daerah yang mempunyai “ambisi” membantu membangun negeri mulai mempersiapkan diri untuk menjadi KS. Karena secara kasat mata, saat banyak inovasi dan kreatifitas yang menjadi kebijakan Kemendikbud, kadang berhenti di tengah jalan. Pasalnya Kepala Sekolah kurang mampu menterjemahkan apa yang dikehendaki Pemerintah (Kemendikbud). Ketidak mampuan memiliki kompetensi kepemimpinan dan kreatifitas, terpengaruh pola lama.

KS berkompetensi ganda karena terbiasa dengan proses kreatifitas, inovatif dengan pemecahan masalah baru. Sebagai upaya membangun kedasaran kolektif dan menyiapkan generasi muda (siswa) mampu meningkatkan kemandirian dalam menghadapi masa depan yang penuh harapan dan juga peluang yang semakin menantang. Karena KS dikukuhkan, diakui dalam bentuk implementasi sebagai manajer dan inspirator. Begitu!

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)