Friday, August 26, 2016

Ospek yang humanis

OPINI, Koran Joglosemar 24/8/16

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Pertengahan Agustus dan awal September 2016 ini Perguruan Tinggi Swasta mulai mengadakan Orienstasi Pengenalan Kampus (Ospek). Merupakan masa persiapan atau pengenalan. Oleh karena itu saat berada di lingkungan baru (dari Siswa SLTA menjadi Mahasiswa) butuh sekali penyesuaian. Oleh karena itu masa ini sudah tidak jamannya diisi dengan gojlogan, perploncoan yang dibarengi dengan kekerasan (bullying) baik verbal maupun fisik.

Beberapa catatan berkenaan korban kekerasan dalam Ospek tiap tahunnya. Seperti Juniayanto meninggal setelah dua hari mengikuti Diklat Pembelajaran (DOP) di Balai pendidikan dan Pelatihan Pelayaran (BP2IP), tangerang Banten (17/7/2012). Fikri Dolas Mantya meninggal setelah mengikuti kegiatan Ospek di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang (12/10/13). Serta peristiwa meninggalnya siswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sulawesi Utara akibat Ospek, Jonoly Untayanadi (24/1/2015).

Sejauh ini Ospek identik ajang perpeloncoan, pemaksaaan kehendak pengindoktrinasian, balas dendam, hukuman dan kekerasan. Soerjono Soekanto mengatakan kekerasan (konflik) suatu proses sosial individual atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang diserta ancaman san atau kekerasan.

Jarang sekali nilai-nilai keteladanan mulai perkataan (tutur kata), sikap, dan perbuatan yang dicontohkan oleh senior, pembina maupun Dosen pendamping. Padahal dalam Ospek merupakan momen penting untuk mentransfer nilai (value) sejak dini kepada Camaru. Maka kegiatan ini harusnya humanis,

Oleh karena itu sebuah monitoring/pengawasan dari berbagai pihak berkepentingan dalam pelaksanaan Ospek menjadikan sebuah kegiatan yang patut diteladani. Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristek Dikti) Mohammad Natsir melarang mahasiswa memimpin Ospek. Perploncoan dalam Ospek terjadi karena mahasiswa diberikan kekuasaan memimpin. Dalam Peraturan Dirjen Pendidikan Tinggi No 274/2014 menyebut yang berwenang dan memimpin ospek adalah dosen.

Karena saat berada “di depan”, mahasiswa senior akan menjadi sorotan dan diikuti , ditaati perintahnya. Makanya sangat sayang sekali bila mereka memberi contoh yang jelek. Baik itu dari perkataan (verbal), sikap, tindak tanduk maupun perbuatan kekerasan (bulying). Perlu diingat obyek Ospek adalah Camaru yang sudah dewasa dan kritis.

Kita tidak hanya cukup prihatin, mengecam, menyesalkan masih terjadinya kekerasan dan penyimpangan dengan adanya korban. Hakekat Ospek dibutuhkan sikap humanis, seperti dikatakan Thomas Hobbes, "Homo Homini Socius", manusia adalah sahabat yang lain tidak lagi ditemukan "Homo Homini Lupus", manusia adalah serigala bagi manusia lain. Tinggalkan cara konvensional dengan habitus baru.

Maka kegiatan Ospek lebih menekankan pada pendidikan karakter (Budi Pekerti), humaniora, rasa nasionalisme, patriotisme dengan semangat kekeluargaan, gotong royong, sosial, simpati, empati, berbagi kasih, menolong, melayani, tepa slira (hormat menghormati) ditengah keberagaman / kebhinnekaan.

humanis

Meminjam istilah pendidikan dari Drijarkara, “memanusiakan manusia muda”. Bahwa kegiatan Ospek harus berbingkai keteladanan untuk orang muda. Harapannya camaru merasa dihargai eksistensinya dan berusaha meniru para seniornya baik melalui materi, contoh nyata dan perbuatan. Menjadikan awal komunikasi (input-output) yang baik. Penghilangan bentuk kekerasan, balas dendam, kegiatan/penugasan yang aneh-aneh dengan persaudaraan, cinta kasih, rasa kasih sayang merupakan bentuk contoh sikap dan perilaku manusiawi.

Masa orientasi adalah sarana fundamental untuk membangun citra yang baik. Sebab dalam Ospek inilah pendidikan berkelanjutan terbangun dan terjalin. Ospek sebagai upaya dini untuk saling belajar, mendengarkan, memperhatikan, menghargai semua pihak yang terlibat dalam aktifitas. Tidak membedakan antara senior dan junior merupakan dambaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan.

Diharapkan, para pegiat Ospek saling bekerjasama, bahu-membahu, membantu, beriteraksi dan membangun peradaban baru dalam lingkungan Perguruan Tinggi (PT). Karena, masa depan PT merupakan tanggung jawab bersama sebagai satu keluarga besar dalam komunitas Intitusi Almamater. Membudayakan Ospek dengan konsep humanis perlu dimulai sejak Camaru mulai masuk lingkungan Kampus. Sebagai bangsa yang beradab, kita sudah jenuh dengan suguhan di media televisi yang kurang mendidik. Orientasi bentuk penyimpangan, perpeloncoan, kekerasan, balas dendam dan hukuman yang tidak mendidik, sudah bukan jamannya.

Bentuk penayangan tokoh-tokoh bangsa yang berjasa pada Negara, penyisipan cerita atau film yang bertemakan keteladanan pemimping (film perjuangan) sehingga menumbuhkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Camaru ditumbuhkan sikap sikap kritis, jiwa sosial, rasa simpati, empati dengan semangat menolong dengan memberikan contoh baik secara visual dari kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Bila perlu dalam Ospek dilaksanakan aksi Donor Darah, pengumpulan buku/pakaian bekas. Penyuluhan kepada masyarakat yang termarginalkan dan aksi sosial positif lainnya. Menjadi kesadaran kolektif bahwa bangsa kita sedang mengalami krisis multidimensi. Bagaimana kehidupan masyarakat yang berjuang untuk mempertahankan hidup dari kemiskinan, berjuang mendapatkan pekerjaan, berjuang demi memperoleh kesehatan, mempererat persatuan, membela dan menjunjung harga diri bangsa. Bentuk kampanye melawan aksi terosrisme, narkoba, anti rokok dan bentuk aktifitas lain yang menggugah kesadaran untuk peduli.

Perubahan kegiatan Ospek yang humanis merupakan bentuk penghargaan harkat dan martabat manusia. Menumbuhkan semangat sosial dengan merasakan langsung bahwa manusia perlu saling-menolong merupakan pembentukan jalinan interaksi positif. Daripada saling membentak dan menghukum yang justru berdampat sakit hati dan dendam.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Monday, August 08, 2016

Kembalinya Mapel Pancasila

WACANA Nasional, SUARA MERDEKA, 8 Agustus 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

MASUKNYA Pancasila sebagai bagian dari mata pelajaran (mapel) muncul sejak Kurikulum 1964. Dalam kurikulum ini istilah Pancasila masuk dalam lima hal pokok, yaitu manusia Indonesia berjiwa pancasila; man power; kepribadian kebudayaan nasional yang luhur; ilmu dan teknologi yang tinggi; pergerakan rakyat dan revolusi. Kurikulum ini menitikberatkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana.

Dalam Kurikulum 1968, Pancasila makin bermakna. Tujuan Kurikulum 1968 menekankan pendidikan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.

Pancasila telah menjadi fondasi dalam kehidupan berbangsa bernegara dan masuk dalam pembentukan karaktrer sebagai ruh pendidikan. Dalam Kurikulum 1975, penegasan Pancasila menjadi semakin konkret sejak Orde Baru berkuasa. Pendidikan Moral Bangsa (PMP) makin kuat dan sentralistik. Menjadi alat ampuh melanggengkan kekuasaan.

Dengan penerbitan Tap MPR II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa) semua lembaga pendidikan terkonstruksi dalam norma atau nilai yang terjabar dalam 36 butir yang harus dihayati dan diamalkan. Mata pelajaran PMP sangat sakti dan ampuh, karena tidak boleh tertulis angka merah.

Bila nilai berangka merah, maka peserta didik dijamin tidak naik atau tidak lulus. Mereka harus mengulangi di kelas yang sama tahun berikutnya. PMPsangat sakral dan menakutkan. Dalam melanjutkan ke sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, peserta didik juga wajib mengikuti dan lulus penataran P4. Pancasila menjadi agitasi dan propaganda Orde Baru.

Namun produk hukum Ketetapan MPR II/MPR/1978 setelah Reformasi 1998 tidak berlaku lagi. Setelah dicabut dengan Ketetapan MPR XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR I/MPR/2003.

Mulai reformasi inilah pro dan kontra Pancasila menjadi perbincangan dan tarik ulur dimasukkan ke dalam kurikulum, dihilangkan atau dikurangi. Awal reformasi seolah Pancasila dikambinghitamkan terjadi korupsi kolusi nepotisme (KKN) masif.

Seolah pelaku KKN tidak tersentuh dan kebal, masyarakat bawah selalu menjadi korban dengan salah satu alat dan argumen ìmenentangî Pancasila. Ketika pembahasan dalam menetapkan Kurikulum 2004, Kurikulum Berbasis Konstitusi (KBK) Puskur merencanakan menghilangkannya. Untung ada salah satu anggota Puskur, dengan latar belakang konsentrasi Pendidikan Pancasila ngotot dengan argumentasi kuat.

Perubahan hilangnya ìPancasilaî dalam mapel sejak kelahiran KBK dengan nama mapel baru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Begitu pula dua mapel sebelumnya sebagai penyangga hilang (Tata Negara dan PSPB) tidak masuk lagi dalam KBK. Dalam mapel PKn inilah nilai-nilai Pancasila berkurang.

PPKn

Melihat perkembangan moral dan etika anak bangsa makin kurang menggembirakan, Komisi X mulai gerah dan mengusulkan agar Pancasila masuk lagi dalam kurikulum.

Seperti diusulkan anggota Komisi X Deddy Gumelar yang menyayangkan keberadaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sama sekali tidak menyinggung tentang Pancasila dan kewarganegaraan. Pancasila sampai tidak diindahkan hanya karena dosa-dosa Orde Baru (Orba). Padahal kita ketahui, Pancasila ini sebagai dasar dan filosofi awal bagi pembentukan negara menjelang kemerdekaan.

Kurikulum 2013 dan implementasinya menjadikan mapel Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) lahir kembali. Pancasila kembali sakti dengan menjadi mapel inti dan tidak boleh nilai sikap dan karakternya di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Dalam Kurikulum 2013 seolah Pancasila merekarnasi dengan nilai-nilai barunya demi menyelamatkan moral dan etika anak bangsa yang semrawut. Selamat kembali mapel ”Pancasila” dalam setiap jenjang pendidikan sekolah. Karena kewajiban kita bersama menyelamatkan bangsa dan negara dari degradasi moral dan disintegrasi.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi utuh dengan semangat yang didasari nilai nilai dalam dasar negara Pancasila. Karena itu, kita perlu mencintai dan menyelamatkan Pancasila dengan nilai-nilai yang telah teruji. (57)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru PPKn SMA PL Santo Yosef Surakarta.