Tuesday, June 21, 2016

Banjir dan kesadaran lingkungan

OPINI, Joglosemar 20 Juni 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Berbagai daerah di Solo dilanda banjir setelah mengalami hujan deras massif, serta meliupnya Bengawan Solo (18/6/16). Padahal menurut iklim normal di Indonesia, sudah memasuki pancaroba memulai awal kemarau. Namun apa yang terjadi, sebuah anomali.

Menurut Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dibandingkan rata-rata selama 30 tahun (1981- 2010), Awal Musim Kemarau 2016, sebagian besar daerah mundur. Sedangkan yang maju terhadap rata-rata 78 ZOM (22.8%). Anomali iklim dipengaruhi oleh El Nino, La Nina, Dipole Mode, Sirkulasi Monsun Asia – Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zone / ITCZ) dan Suhu Permukaan Laut di Wilayah Indonesia.

Saat ini tidak hanya fenomena banjir di semua daerah Indonesia. Hampir semua wilayah pesisir juga dilanda air pasang (rob) dan banjir berkepanjangan. Belum lagi tanah longsor, gempa tektonik dan vulkanik. Sebuah momentum menjadi kesadaran kita bersama, untuk peduli kepada lingkungan.

Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 ayat 2).

Antisipasi

Lalu bagaimana mengantisipasi dampak bencana banjir di tengah anomali musim? Segala warning (peringatan) sudah dikumandangkan selalu. Beberapa Kepala Daerah sudah sejak dini melakukan sosialisasi dan antisipasi, akan bahaya banjir. Namun toh banjir datang di tempat yang sama tidak terelakkan bahkan kadang semakin parah.

Sebenarnya bencana banjir terjadi tak lepas dari kemurkaan manusia. Untuk banjir bandang, aksi membabat hutan dan lahan hijau guna perumahan dan pabrik. Dalam merambah hutan tanpa melakukan konservasi dan reboisasi kembali. Eogoisme kelompok demi kepentingan tertentu mengabaikan lingkungan dan kebutuhan masyarakat secara umum.

Dampak lain dari kerusakan hutan dengan mudahnya area hutan terbakar karena gundul dan tinggal semak belukar. Menurut WWF-Indonesia (LSM internasional di Indonesia yang memantau kelestarian hutan) tahun 1997-1998, sekitar 10 juta ha hutan mengalami kebakaran. Itu menyebabkan kerugian negara sebesar tiga miliar dolar Amerika dan melepaskan emisi gas rumah kaca sebanyak 0,81-2,57 gigaton karbon ke atmosfer (setara 13-40 persen total emisi karbon dunia yang dihasilkan bahan bakar fosil per tahunnya)

Semua harusnya bergerak, saling bahu membahu untuk menyelamatkan hutan dan bumi iklim yang sudah tidak beraturan dan cuaca udara yang semakin panas. Sebab Sebuah himbauan tanpa wujud nyata dari partisipasi dan kesadaran masyarakat menjadi aturan dibuat hanya untuk dilanggar. Maka bagi para pelanggar wajib hukumnya diberi saknsi seberat-beratnya.

Gerakan bersama dalam pengelolaan hutan dan lingkungannya memang harus dilakukan secara terpadu, terarah dan terprogram. Ketaatan akan penataan lingkungan, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman dengan selalu mewaspadai dan mengantisipasi perubahan iklim yang semaikin absurd. Oleh karena itu sebuah sosialisasi dari discissionmaker(penentu kebijakan) lokal dan mengajak stakeholder lingkungan hidup untuk saling bahu membahu memberikan penhyuluhan demi kesadaran masyarakat.

Sonny Keraf dalam bukunya ”Etika Lingkungan” (2002) mengatakan bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia sebab lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Oleh karena itu masalah krisis ekologi global yang kita alami saat merupakan persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Namun sayang kadang manusia sering lupa sebelum ada azab (peringatan) tiba dari Yang Maha Kuasa. Disinilah pentingnya sebuah upaya preventif dengan menggugah kesadaran semua insan akan nasib manusia dan bumi sebagai pijakan hidup.

Sedangkan banjir di perkotaan, selalu masalah klasik yang muncul dengan minimnya kesadaran masyarakat kepada lingkungannya. Tidak tersedianya 30 % Ruang Terbuka Hujau (RTH) sebagai area penyerapan air. Membuang sampai seenaknya sehingga menyumbat saluran air yang ada. Program kali bersih (prokarsih) tidak dilaksanakan semestinya. Apakah karena masyarakat yang kurang peka atau teledornya aparat dalam melakukan sosialisasi dan penegakkan disiplin.

Arne Naess seperti yang dikutip oleh Sonny Keraf. Bahwa krisis lingkungan saat ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Yang dibutuhkan adalah sebuah pola hidup dan gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang perorang tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta.

Oleh karena itu menghadapi berbagai persoalan lingkungan hidup khususnya menghadapi banjir dewasa ini yang semakin absurd. Upaya membangun kesadaran moral masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan guna mengatasi pemanasan global dan anomali iklim.

Dengan mensosialisasikan kepada masyarakat secara kontinyu dan tanpa lelah untuk peduli akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Pembangunan karakter bangsa dalam sebuah kehidupan ekonomi global yang lebih berfokus pada kesadaran penyelamatan. Pelestraian lingkungan tidak hanya sekedar sebagai propaganda kepentingan politik namun memang tumbuh dari kesadaran diri guna penyelamatan kehidupan umat manusia secara holistik.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Friday, June 03, 2016

Rekonstruksi Pancasila

OPINI, Kedaulatan Rakyat. 3 Juni 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Sejak reformasi hari lahir Pancasila 1 Juni baunya lebih wangi daripada hari kesaktian Pancasila 1 Oktober. Hal ini tidak lepas dari rezim yang sedang berkuasa. Orde baru lahir dilatarbelakangi pemberontakan PKI, dalam pelajaran sekolah ajarkan, PKI hendak menggantikan idiologi Negara Pancasila.

Maka menyimak tulisan Buchory MS. “ Reaktualisasi nilai Pancasila,” (KR. 31/5/16) seolah hendak mengingatkan kembali kepada kita nila-nilai Pancasila. Penjabaran nilai Pancasila teraktualisai di dalam 36 butir nilai dalam Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) atau biasa disebut Eka Prasetia Pancakarsa.

Betapa pentingnya nilai Pancasila diaktualisasikan pada jaman ini yang seolah melupakan nilai yang terjabarkan dari sila Pancasila. Dalam Tap MPR no II/MPR/1978 tersebut jelas sekali di sila pertama dijabarkan menjadi 7 butir, sila ke dua menjadi sepuluh butir, sila ketiga menjadi 7 butir, sila ke empat menjadi 10 butir dan sila kelima menjadi 11 butir. Dan dalam perjalanannya 36 butir pancasila dikembangkan menjadi 45 butir oleh Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaaan Pedoman Penghayatan pengamalan Pancasila (BP 7).

Jas Merah

Saatnya bangsa Indonesia me-rekonstruksi Pancasila. Upaya pengembalian kembali hakekat Pancasila dari proses terbentuk oleh BPUPKI dan upaya mempertahankan kembali Pancasila sebagai dasar Negara. Sebab saat Orde Baru berkuasa 32 tahun, hampir jarang disinggung peristiwa rapat BPUPKI ( 29 Mei – 1 Juni) dimana Soekarno mencetuskan nama dasar Negara Pancasila, seolah mati suri.

Soekarno sendiri pernah mengatakan slogan jas merah (jangan sekali sekali meninggalkan sejarah). Maka generasi penerus jangan lupa tentang hakekat lahir dan perkasanya Pancasila dalam upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari upaya makar.

Rekontruksi Pancasila agar bangsa ini tetap utuh sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat, mandiri, kritis dan berbudaya. Bangsa yang tidak melupakan dasar negaranya. Karena beberapa waktu lalu seorang public figure artis nasional tidak mampu menyebutkan sila-sila Pancasila. Peristiwa Ironis dan memalukan.

Hasil jajak pendapat sebuah media nasional memberikan gambaran, secara perlahan, simbolisasi Pancasila dalam gambar, lagu, bahkan hafalan butir-butir sila Pancasila semakin hilang dari ingatan anak bangsa. Terlepas dari tarik ulur wacana soal bagaimana seharusnya menafsirkan sebuah ideologi, yang jelas tampak penyusutan memori kolektif atas pengetahuan tentang dasar negara ini.

jangan memotilisasi Sebuah hakekat guna membangun kembali Pancasila demi menanamkan cita cita luhur, pandangan hidup, pedoman hidup dan dasar filosofi (filosofi grondslag). Sebagai hasil kesepakatan foundhing fathers (pendiri negara) yang dikenal sebagai perjanjian luhur bangsa.

BN Marbun (1996) mengatakan bahwa rekonstruksi upaya pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, Penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula. Maka rezim apapun yang berkuasa hendaknya jangan mempolitisasi Pancasila dan nilai nilai yang ada. Karena dapat membingungkan generasi.

Dunia pendidikan sebagai salah satu jawaban. Dengan kembalinya mata pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) termasuk perubahan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Pembelajaran yang dijiwai 4 (empat) konsensus kebangsaan yaitu (1) Pancasila, sebagai dasar negara, ideologi nasioanl, dan pandangan hidup; (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai komitmen terhadap bentuk final Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia; (4) dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud kesadaran atas keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pertimbangan kepentingan hidup bersama secara damai dan harmonis .

Merekonstruksi Pancasila kini menjadi harapan banyak pihak, seperti cita-cita pendiri negara. Pendidikan kawasan ideal untuk menyemaikan kembali nilai-nilai Pancasila dan aplikasinya. Tentu tidak harus seperti format Penataran P4. Yang terpenting adalah bagaimana menggali kekritisan, gerakan sosial, empati, perdebatan konstruktif, orasi, pidato, aktulisasi, implementasu dan opini atas Pancasila dalam kerangka kepekaan menghadapi realitas zaman. Semoga.

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru PPKn SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

Wednesday, June 01, 2016

Mendambakan guru yang berkarakter

Aspirasi Guru, koran Wawasan, 28 Mei 2016

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Guru merupakan garda terdepan pendidikan yang langsung berhadapan dengan peserta didik. Dari tangan gurulah masa anak didik ditentukan. Baik buruknya pendidikan formal seorang anak manusia di sekolah berada di tangan guru.

Oleh karena itu karakter seorang guru yang layak diteladani merupakan dambaan stakeholder pendidikan. Prinsipnya dalam mengajar dan mendidik merupakan upaya meletakkan landasan karakter yang kuat dengan menanamkan kecerdasan Intelektuak, emosional dan sosial.

Segala sikap, tutur kata, tindak tanduk dan perbuatan guru baik dalam mengajar di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat selalu menjadi sorotan. Seorang guru memiliki tangung jawab menanamkan nilai kehidupan kepada peserta didik. Guru harus memperhatikan empat hal, penampilan yang menarik, komunikasi yang bagus, kinerja sepenuh hati dan pelayanan yang maksimal (Furqon Hidayatulah. 2012).

Beberapa fokus pemberitaan tindakan negatif guru, mulai tindakan asusila, kekerasan (bulying) kepada peserta didik, markup(penggelembungan) nilai, membolos selalu menjadi sorotan. Beragamnya peristiwa dilakukan oknum guru merupakan tinta hitam sikap, perbuatan guru yang tidak berkarakter.

Anomali guru merupakan penyimpangan moral, dedikasi, profesional, pendampingan dan kerjasama yang seharusnya perlu dibangun oleh guru di sekolah. Kenyataanya guru tidak mampu mengemban warisan kata bijak dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro. Bahwa guru harus bisa memosisikan dimana saja., Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani. Lalu bagaimanakah mendamba guru yang berkarakter di era global saat ini?

Oleh karena itu berbagai tragedi pendidikan yang dilakukan oknum guru sangat mencoreng karakter ideal. Guru yang cerdas, berkompeten, perprinsip, sederhana, tertib, rajin, maju dan progresif, terencana, akuntabel (tanggung jawab), kridibel (berkualitas), kinerja yang cepat tanggap, melakukan evaluasi dan inovasi.

Menancapkan fondasi karakter guru yang mengakar dalam pribadi. Sehingga pendidikan tidah salah arah dan tujuan. Karakter akan membentuk kepribadian bangsa yang kuat. Dari sudut psikologis kepribadian sebagai satu kesatuan utuh dan dinamis dari berbagai karakter fisik, mental, moral, sosial dalam diri seorang individu sebagai tampak di depan orang lain (J. Drever. 1976). Lalu sudah siapkah guru dalam melaksanakan pendidikan Indonesia menunjukan kualitas dengan karakter yang teguh? Pasalnya pendidikan di sekolah bukan cuma memberikan pengetahuan (knowledge), tetapi melengkapi siswa dengan sikap (atitude), ketrampilan (psikomotorik), kemampuan dan karakter.

Dimulai dari keteladanan guru yang menjadi ujung tombak pendidikan. Karena para guru sampai saat ini terjebak untuk mengajarkan pancapaian nilai akademis semata dengan terpusat pada hasil Ujian Nasional (UN). Sedang masalah non akademik, pembentukan karakter , sikap etos kerja, nasionalisme termasuk soft skill terabaikan. Maka layaklah emosi guru lekas terpancing bila tidak sejalan dengan harapan karena tekanan tuntutan dari berbagai pihak (Institusi, masyarakat dan Orang Tua)

Berkarakter

Mendambakan guru yang berkarakter harus secara holistik (menyeluruh) yang menghubungkan antara dimensi moral, etika pendidikan dengan ranah sosial dan sipil. Sikap dan nilai dasar ini dikomunikasikan, diidentifikasikan dari masyarakat dan diteguhkan lewat pendidikan di sekolah. Roda pendidikan dari tanggung jawab guru berkarakter kuat. Memiliki nilai tambah, meningkatkan mutu pendidikan. Kewibawaan, ketegasan, kedisiplinan, tanggung jawab, rasa sosial, sabar, kasih sayang, simpati, empati dan moralitas guru terbentuk.

Kesepakatan pemahaman dan aktualisasi pelaksanaan dalam keseragaman pendidikan ditegaskan. Paling tidak disamakan persepsi dalam kebutuhan bahwa guru harus cerdas, berkualitas, inspiratif dan mempunyai niat, kesungguhan, hati nurani dalam bekerja untuk mencerdaskan anak bangsa dengan melakukan pendampingan secara total.

Dalam bukunya Educating for Charakter, (Thomas Lickona.1991). Pendidikan karakter sebuah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan dan bertindak atas dasar nilai-nilai etis. Dari sini jelas sekali bahwa sebuah karakter merupakan bentuk bela rasa untuk mengerti, memahami, menolong, melaksanakan dengan semangat rela berkorban, olah hati, bela rasa, tabah hati, lemah lembut, berdisiplin dengan tidak melepaskan diri dari koridor norma yang berlaku.

Rhenaldi Khasali (2007) semakin menguatkan bahwa diperlukan Guru inspiratif yang akan membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat "Aku ingin jadi seperti dia" atau "Aku bisa lebih hebat lagi".

Mengidealkan guru idola, pondasi karakter harus di kedepankan. Sebab peserta didik umumnya akan mengenang, mengingat dan meniru apa yang diwariskan oleh guru. Beban berat guru untuk mentransformasikan nilai positif setiap saat demi pendidikan yang beradab. (long life education). Hulu pendidikan sibentuk dari fondasi guru berkarakter.Modal untuk menjadikan manusia berbudaya. Jembatan perubahan sistem pola pikir (mindset), sebab pendidikan merupakan sebuah proses. Nilai (value) dan kepribadian ditransformasikan kepada peserta didik sebagai karakter pribadi, karakter masyarakat dan bangsa.

FX Triyas Hadi Prihantoro (Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)