Tuesday, June 30, 2015

Reuni dan Ke- (tidak)- pedulian alumni

di muat di Forum Harian KOMPAS

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Kita sering membaca sebuah ajakan untuk Reuni. Berbagai pengumuman ajakan Reuni baik yang ditempel dalam bentuk pamflet, brosur serta spanduk, baliho yang dipasang diberbagai tempat strategis kota oleh Panitia, termasuk di sekolah asal. Media informasi reuni, lebih efektif, efisisen dengan dan jangkauan luas yaitu melalui media cetak audio dan audio visual.

Menurut Kamus Reuni merupakan sebuah ajakan pertemuan kembali mantan teman sekolah, organisasi, profesi, bermain, hobby dan masih banyak kepentingan. Namun yang sering populer saat menjelang lebaran adalah ajakan reuni untuk teman sekolah baik itu tingkat SD/SMP/SMP sampai teman kuliah di Perguruan Tinggi.

Sebetulnya tidak ada pembatasan waktu dan angkatan untuk penyelenggaraan Reuni. Setiap saat kelompok “teman lama” dapat menyelenggarakan reuni sekirannya memungkinkan dan dibutuhkan. Namun sering kali dalam setiap pengumuman reuni yang penulis baca di berbagai tempat maupun media ajakan reuni hampir sebagian besar setelah 20 tahun lebih tidak bertemu dan meninggalkan sekolah. Hal itu dapat dilihat dari susunan Panitia penyelenggara yang mencantumkan angkatan lulusnya.

Melihat arti reuni maka diharapkan semua lulusan suatu sekolah diharap sudi untuk menghadiri acara tersebut. Selain sebagai acara untuk melepas kangen, rindu, reuni merupakan ajang silaturahmi positif guna menumbuhkan rasa empati dan kepedulian setiap angkatan dan untuk almamater bagi lulusan suatu sekolah . Namun mampukah ajakan tersebut dapat memenuhi target yang diharapkan? Benarkah mantan siswa peduli akan almamater?

Penyelenggaran reuni sesudah Lebaran merupakan waktu yang sangat tepat, efektif dan efisien. Hampir semua orang yang berasal dari suatu daerah akan melakukan mudik ke daerah asalnya masing-masing. Mudik sendiri sudah merupakan budaya bangsa Indonesia yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka mudik dengan membawa serta anggota keluarganya. Acara sungkeman, anjangasana, pertemuan kerabat (trah) adalah kegiatan lebaran yang sudah menjadi tradisi.

Maka ajakan Reuni tidak hanya bagi mantan teman, namun juga ajang pertemuan antar keluarga besar sekolah. Harapannya, penyelenggaraan Reuni sesudah lebaran akan dihadiri oleh para alumnus setelah mereka bersilaturahmi dengan keluarga.

Tingkat kehadiran alumni sampai 30 % dari jumlah lulusan merupakan sebuah kesuksesan. penyelenggaraan reuni. Kenyataannya ajakan untuk hadir tidaklah semudah yang dibayangkan. Tidak cukup hanya dengan pengumuman melalui berbagai media yang ada, banyaknya pendukung (donatur/sponsor) maupun tempat yang pretise dan representative.

Kehadiran untuk reuni merupakan krentek, kehendak diri, dorongan batin alumnus. Tidak bisa didorong, dipaksa dan diwajibkan Kemungkinan banyak terjadi alumnus yang belum sukses/berhasil dalam hidup (jabatan, studi, ekonomi, karir, keluarga) rata-rata enggan hadir. Perasaan malu, sungkan, tak percaya diri akan menghantui kelompok ini. Padahal berdasar prosentase kelulusan (alumni) tentu paling banyak yang belum sukses.

Ajakan antar person yang dikenal dan dipercaya salah satu strategi jitu untuk menghadirkan mereka yang enggan hadir. Bagaimana memompa kepercayaan diri terhadap mereka yang belum sukses. Bahwa reuni bukan merupakan ajang pamer keberhasilan dan kekayaan. Yang dibutuhkan bentuk kepedulian terhadap sekolah dimana mereka dulu belajar, dididik, tumbuh dan berkembang seperti saat ini.

Sayangnya tingkat prosentase ketidakpedulian alumni terhadap almamater tetap lebih dominan/besar, meski telah berhasil sekalipun. Alumni sering acuh tak acuh terhadap nasib bekas sekolahnya. Gedung sekolah yang mulai rusak, sarana-prasarana yang tak up to date, kesejahteraan guru yang tak sepadan serta kualitas SDM (sumber daya manusia) adik kelas yang pas-pasan. Seolah-olah bukan urusan alumni.

Kepedulian

Oleh karena itu agar bentuk kepedulian alumni tampak dalam acara diadakan penggalangan dana, kunjungan ke sekolah, mengundang mantan guru, pemberian bantuan.. Kemampuan penggalangan dana besar sehingga dapat membantu sekolah belumlah cukup. Karena yang dibutuhkan oleh sekolah tidak hanya sebuah bantuan secara financial (uang) fisik (membangun gedung, pemenuhan computer, meja kursi) namun yang paling diputuhkan adalah dukungan agar tetap mampu berkompetisi terhadap pesaing.

Bukan rahasia umum bahwa sekolah yang usianya telah berumur dan meluluskan banyak alumni sebagian besar adalah sekolah swasta. Begitu juga banyak alumninya yang bernasib baik/mujur. Ironisnya nasib sekolah-sekolah tersebut bagaikan diujung tanduk (hampir tutup), karena kebijakan Pemerintah yang dikriminatif. Kebijakan Pemerintah secara tidak langsung “mengebiri” peran sekolah swasta. Mulai dari pencabutan subsidi, pelarangan guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) bekerja di sekolah swasta, program “pendidikan gratis”, saat PSB (Penerimaan Siswa Baru) harus setelah sekolah negeri. Maka rata-rata sekolah swasta di daerah siswa yang di didik merupakan “buangan” sekolah negeri, dan tidak mampu.

Disinilah kepedulian alumni dituntut, bagaimana “menghidupkan” kembali sekolahnya seperti saat mereka sekolah. Alumni yang sukses secara studi diharap mau memberikan “penularan” ilmu pada (mantan) guru. Sukses dalam karya melakukan penggalangan dana untuk membantu sarana/prasarana termasuk program beasiswa alumni. Sedang yang sukses dalam karir (politik.birokrasi) melakukan pressure / membuat policy agar sekolah (swasta) juga diperhatikan.