Monday, June 23, 2014

Ironi Sekolah Murah (-an)

Suara Guru Harian Suara Merdeka, 21 Juni 2014.

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Berita duka sering menimpa sekolah swasta yang kekurangan siswa menjelang tahun ajaran baru. Sebagai salah satu akibat dari sosialisasi, implementasi dan kampanye besar-besaran sekolah gratis bagi sekolah negeri.Bagaimana dengan nasib sekolah swasta di tahun ajaran 2014-2015 ini?

Akibat dari kekurangan dan tutupnya sekolah swasta, di satu sisi, berhasilnya program sekolah gratis menjadi daya pikat masyarakat merupakan bentuk keberhasilan tanggung jawab riil negara “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Namun sayangnya kebijakan ini sering menjadi “alat pembunuh “ sekolah swasta yang dulunya sebalai pelopor dan perintis adanya sekolah di suatu daerah.

Nasib sekolah swasta, mulai dari sekarat, kehilangan daya juang karena menipisnya jumlah peserta didik dan ujung-ujungnya “mati,” dengan tidak mampu beroperasi. Padahal berdasarkan amanat Undang-Undang No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah wajib untuk memberikan bantuan secara adil dan merata. Dalam pasal 55 Ayat (4), tertulis Lembaga pendidikan berbasis masyarakat wajib memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Bila Pemerintah dengan program “elit” sekolah gratis melalui kemudahan gelontoran dana dan kemudahan mencairkan bantuan. Maka sekolah swasta jelas akan “terkapar” dan melakukan aksi jibaku, mengubah paradigm pendidikannya.

Cara radikal sekolah swasta “sekarat” yang sering ditempuh dengan memasang propaganda sekolah “murah.” Berbagai informasi terpasang di berbagai sudut strategis jalan utama, dengan bebas uang gedung, pemberian seragam gratis bahkan lebih menyedihkan menyediakan tranportasi antar jemput. Meski nanti kenyataanya akan kesulitan dalam mengelola pendidikannya.

Namun dengan cara seperti itupun, masyarakat melirikpun tidak. Sebuah ironisasi perjuangan yang mengenaskan dan menyedihkan. Sangat bertolak belakang saat sekolah swasta banyak dibutuhkan karena negara/ Pemerintah belum mampu untuk memberikan pelayanan pendidikan yang layak dan murah.

Banting Harga

Sekolah Swasta banting harga dengan menginformasikan secara massif berbagai kemudahan, potongan dan hadiah ibarat obtal pakaian. Begitu murahannya sebuah lembaga pendidikan yang diharapkan mencetak generasi muda handal, pandai, cerdik, trengginas, bernyali, semangat kerja keras dan pantang menyerah sebagai pembentukan karakter bangsa. Sulit dimengerti, dipahami dan diupayakan kembali oleh sekolah swasta dalam mengukur kualitas pendidikannya.

Sekolah murahan identik kurangnya cita-cita dan idealisme pendidikan. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran bisa sangat meragukan. Sebab pendidikan berkualitas tidak lepas dengan biaya besar. Maka saatnya pengelola sekolah swasta menagih janji Pemerintah demi membantu pendidikan di sekolah swasta agar tidak dianggap sekolah murahan.

Dalam UUD 45. pasal 31 Ayat (2), mengamanatkan pemerintah untuk membiayai setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar. Melaksanakan wajib belajar dengan pendidikan gratis artinya memiliki kewajiban untuk membiayai seluruhnya. Perintah konstitusi yang harus dilaksanakan secara adil dan merata. Pembagian dana sekolah gratis demi peningkatan kualitas harus dibagi sesuai kebutuhan secara adil dan proposional.

Ketika Pemerintah abai dan menganak tirikan sekolah swasta, menjadi sebuah realita kehidupan pendidikan di Indonesia yang kurang berkeadilan. Ibarat habis manis sepah dibuang, yang dilakukan Pemerintah. Tanpa melihat jasa-jasa yang pernah diberikan bagi sekolah yang menjadi murahan tersebut.

Seyogyanya Pemerintah dalam memutuskan kebijakan tidak tebang pilih. Demi penyelamatan dan menghindari stigma sekolah murahan, segera beri suntikan “amunisi” melalui kebijakan yang berkeadilan. Gerakan alumni yang sudah menjadi “orang” perlu bahu membahu demi mengangakat harkat derajat dari sekolah swasta untuk tetap eksis seperti jaman emasnya.

Kebijakan yang diharapkan selain subsidi, rayonisasi juga pembatasan kuota peserta didik bagi sekolah negeri. Dan pemberian prioritas utama bagi peserta didik berprestasi bagi kelompok masyarakat tidak mampu untuk mengenyam pendidikan gratis sesungguhnya.

Bukan sebaliknya peserta didik dan mampu secara financial, menjadi “bancaan” bagi sekolah negeri yang sudah berkelebihan akan bantuan.

Sebab penulis yakin ruh sekolah swasta yang banyak melahirkan para pemikir, politisi, birokrat, pengusaha, budayawan, rohaniawan dan lain lain. Penulis yakin kinerja tenaga pendidik dan kependidikannya tetap dapat dijaga kualitas dan mentalitasnya. Pertanyaanya, bagaimana setiap tahun ajaran baru, sekolah swasta masih diminati dan tetap mampu membantu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui idealismenya yang sudah berdiri kokoh selama puluhan tahun?

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)