Thursday, May 22, 2014

Kelulusan UN, Das Sein das sollen

Opini harian Joglosemar 21 Mei 2014

Ujian Nasional (UN) 2014 untuk SMA/MA/SMK dan SMP/MTs sudah usai . Bagaimana hasilnya dengan pengumuman UN SMA sederajat tanggal 20 Mei 2014. Apakah antara harapan dan realita terwujud. Sejak berlakunya formula baru 60 % hasil UN dan 40 % hasil Ujian Sekolah?

Ataukah suatu saat nanti UN mungkin tidak perlu, tetapi saat ini masih diperlukan. Pasalnya baik UN SMA dan SMP masih sarat kecurangan. Baik disengaja dengan “ menggelapkan “ soal secara sistemetis seperti dilakukan oknum Kepala Sekolah dan Guru di Lamongan ataupu beredarnya kuci jawaban.

Secara kwantitas jelas sekali hasil UN mengalami penurunan 5,44 persen. Tahun 2009, tingkat kelulusan ujian nasional SMA/ MA 95,05 persen, sedangkan tahun 2010 hanya 89,61 persen. Meski secara kualitas naik (0,04 persen), terjadi peningkatan nilai rata-rata dari 7,25 pada 2009 menjadi 7,29 dan tahun 2012 99,5 % dan tahun 2013 mencapai 99, 45 %.

Dibandingkan dari data hasil ujian nasional tahun 2010, jumlah paling banyak siswa yang tidak lulus dan harus mengikuti ujian nasional ulangan ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (23,7 persen), Kalimantan Tengah (39 persen), Kalimantan Timur (30,53 persen), Nusa Tenggara Timur (52,08 persen), dan Gorontalo (46,22 persen).

Seperti dikatakan Mendikbud jumlah peserta UN SMA/MA tahun ajaran 2012--2013 adalah 1.581.286 siswa, dan siswa yang dinyatakan lulus UN berjumlah 1.573.036 siswa, sedangkan yang tidak lulus berjumlah 8.250 siswa. Menunjukkan tingkat kelulusan UN SMA/MA tahun 2013 mencapai 99,48 persen, dan persentase ketidaklulusannya adalah 0,52 persen. Berarti persentase kelulusan tahun 2013 ini turun 0,02 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 99,5 persen. Lalu bagaimana dengan kelulusan tahun 2014?

Parameter

Bila UN dianggap sebagai parameter prestasi sekolah dan cermin mutu pendidikan tanah air. Maka keunggulan mutu pendidikan dapat diartikan bergeser secara mutu/ kualitas Sebab bila diukur tingkat prosentase dan jumlah kelulusan hasil UN 2010 membuktikan bahwa kemampuan menekan angka jumlah siswa yang tidak lulus untuk jenjang SMA sederajat tidak berhasil. Padahal standar kelulusan masih sama dengan UN tahun 2009. Hal ini menjadi berbeda dengan sistem penilaian kelulusan di tahun 2012, 2013 dan 2014 saat ini. Meskipun dalam pelaksanaan UN masih sarat kecurangan dengan kebocoran soal, tertukarnya soal dan beredarnya kunci jawaban. Baik yang dilakukan oleh siswa secara personal (individu) maupun yang dilakukan oleh guru sebagai bagian dari institusi (kelompok) sekolah. Namun jelas sekali kenyantaanya hasil UN masih jauh dari harapan.

Pastilah dengan hasil yang belum maksimal ini patut segera di evaluasi baik sistem penilaian, manajemen sekolah, bentuk soal maupun reliabilitas, validitas soal UN itu sendiri. Disamping itu juga peninjauan kembali berkenaan dengan perubahan prosedur mulai dari waktu pelaksanaan sampai dengan toleransi adanya UN ulangan. Sebab bagi penulis tingkat ke sahih-an (mutu) dari kelulusan realitasnya dalam pengumuman tetap pada pengumuman tahap pertama (Ujian Nasional Utama).

Menyikapi

Wajarlah bila para pelaku pendidikan secara komprehensif selalu menyikapi sinis hasil UN. Khususnya saat UN itu sendiri tidak bisa lepas dari berbagai kecurangan dan penyimpangan yang dilakukan secara transparan, terang-terangan dan nyata. Bahkan dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah dan pendidik. Ironis sekali dengan adanya UN dan persoalan yang selalu mengiringi,

Apa yang salah dalam sistem evaluasi UN ini? Berbagai protes dari guru Bahasa Indonesia berkenaan soal yang mengecoh sampai guru Sosiologi yang kurang kredibel, karena tidak sesuai dengan kesarjanaanya. Bahkan dalam soal UN SMP dan SMA bahasa Indonesia seolah dicampuradukan antara urusan pendidikan dengan politik dengan adanya soal UN tentang Jokowi.

Sejak UN bergulir kesadaran akan keterbatasan infrastrukur, dukungan teknologi, pembelajaran, latihan soal bisa menjadikan guru dan siswa terpompa untuk melakukan evaluasi belajar. Membuat rasa kebersamaan, bersemangat mengambil sikap dan mengkonfrontir dari hasil perjuangan perubahan pola belajar guna menempuh evaluasi akhir.

Melihat hasil kelulusan UN 2014 sarat akan kejutan, dengan turunya prosentase kelulusan dan pencapaian nilai secara nasional yang sudah tersiar di media audiovisual (TV). Dengan pemberian soal yang lebih sulit sebagai anggapan dengan bergesernya peningkatan mutu dengan nilai yang rendah dari tahun sebelumnya menjadi bahan Intropeksi.

. Penurunan rata-rata UN 2014, meyodorkan bukti bahwa siswa belum siap menggapai prestasi yang membanggakan. Kita percaya bahwa usaha kerja keras, disiplin ketat, tertib belajar dan kemauan untuk berinovasi sebenarnya akan membuahkan hasil. Namun bilamana jauh hari sudah disodorkan alternatif yang lebih menguntungkan menjadikan segala motivasi yang sudah terbentuk akan sirna. Bagaimanapun Pemerintah harus selalu mengevalusai UN dalam pelaksanaannya. Sebuah kesempurnaan menuju pendidikan bermutu menjadi dambaan bersama. Janganlah kita tenggelam dalam eforia dengan keberhasilan secara kualitas (peningkatan nilai rata-rata) tanpa mengkritisi kebijakan UN, toh tingkat kegagalan meningkat

UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan tiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Tanpa ada keberanian untuk mengevaluasi diri, momentum pembelajaran pasca-UN akan lewat begitu saja. (Doni Koesoema. 2008)

Kita perlu kembali pada konsep awal bahwa UN sebagai bentuk pemetaan kualitas mutu pendidikan. Jika hasilnya masih jauh dari harapan memang kita masih keliru dalam menerapkan sistem manajemen pendidikan dan harus di evaluasi. Mulai dari kurikulum, Silabus, Metode mengajar, Rencana Proses Pembelajaran (RPP), Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), pemberian tugas KBM sampai pada sistem penilaian.

solusi

Pada dasarnya harus mau, berani memberikan solusi dan saling belajar dari kesalahan. Kemauan mengintropeksi, mengevaluaisi, mereformasi dan merehabilitasi dengan tidak mengubah secara frontal merupakan bagian kemajuan. Harus dibuang kultur yang cenderung selalu menyalahkan dengan mencari kambing hitam.

Harus dilakukan penelisikan secara komprehensif substansi masalah dan ditindak lanjuti. Bagaimana belajar dari kesalahan dan menghargai keunggulan yang dimiliki dengan memberi tempat untuk berinteraksi, berkembang dalam meningkatkan kualitas. Masih ada waktu untuk saling memberi, belajar, memperbaiki, merencanakan, mengubah perilaku dan mengevaluasi. Banyaknya siswa yang gagal sebagai kegagalan sistem birokrasi pendidikan dan polarisasi pendidikan instan yang selalu diterapkan guna antisipasi UN.

Siswa gagal tetap menjadi beban yang berkesinambungan dan perlu dioptimalkan dalam upaya mampu untuk menerima kenyataan, mengambil peran dan bangkit kembali mengejar ketertinggalan. Galakkan kembali metode pengajaran dan pendidikan berdasarkan pola asih, asah dan asuh ( care and dedication based on love).

Jangan terlalu lama meratapi dan mengulang kesalahan yang sama. Menerima kenyataan dan mau ”berobat” agar sembuh dari ketidakberdayaan semu sebagai gejolak meningkatkan harkat, derajat dan martabat. Das Sollen (kenyataan) hasil UN harus sesuai das sein (harapan).

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta