Tuesday, February 18, 2014

Solo dan Revolusi Budaya Pendidikan

Opini harian Joglosemar, 19 Pebruari 2014 Oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta "Nilai-nilai khas budaya Kota Solo yang tetap adiluhung, menjadi penting ditumbuh kembangkan, dipupuk, disemai dalam perilaku kehidupan dunia pendidikan." Memasuki usia 269 Kota Solo, menjadi permasalahan serius berkenaan dengan moral dan etika dalam berbudaya. Khususnya, berbagai peristiwa yang mencoreng pendidikan. Maka tema Solo Bersih dan Berbudaya, yaitu sebuah tema sekaligus harapan yang ingin dicapai dan terus ditingkatkan oleh kota Solo. Ada lima budaya terkait dengan logo HUT Kota Solo tersebut, yaitu gotong royong, memiliki, menjaga, merawat, dan mengamankan Kota Solo. Oleh karena itu kehendak bersama stakeholder kota guna mengamalkan lima budaya, salah satunya dalam bidang pendidikan. Pasalnya, pendidikan mempunyai nilai strategis dalam membangun mental, moral dan etika guna membangun karakter. Dari sinilah sebuah keinginan stakholder kota guna menciptakan bersih dan berbudaya sebagai bagian penting dalam “membangun” kota bersama warganya. Maka saat kita simak, berbagai peristiwa masalah ketidakadilan dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB) sekolah negeri favorit Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), kekerasan di sekolah, sekolah rusak, penyunatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK), krisis keteladanan. Sampai pada kecurangan Ujian Nasional (UN), markup nilai, seks bebas, dan perilaku menyimpang siswa lainnya seputar pendidikan. Untuk itu, butuh sebuah revolusi etika budaya pendidikan yang membumi dan komprehensif. Seperti pernah digagas Walikota Surakarta, Solo Butuh Revolusi Budaya. Dituliskan, dalam lima tahun ke depan (2010-2015), pembangunan fisik akan dikurangi dan akan lebih difokuskan pada bidang nonfisik, terutama pembenahan yang bersifat “ke dalam,” terhadap mentalitas, serta mengeksplorasi kembali nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa sebagai identitas kultural Kota Solo dan wong Solo. Menjadikan identitas Solo sebagai Kota Budaya bukan hanya sebagai lips service. Namun, benar-benar sebagai bagian kehidupan masyarakat kota yang diawali, berakar dari budaya pendidikan yang baik berdasarkan asah, asuh dan asih. Sebab, bila sudah menjadi “ruh” dan sebagai bagian dari budaya niscaya harapan pemangku kepentingan tidak akan sia-sia dan tinggal menuai. Oleh karena itu, dedikasi untuk menjaga, merawat dan mengamankan sebagai bentuk solusi dari revolusi budaya. Di mana sudah menjadi kehendak dan bagian dari tema HUT ke-269 Kota Solo, yang secara sadar akan didukung penuh kesadaran oleh warganya. Kesadaran Bentuk keprihatinan bersama akan turunnya degradasi moral dan etika memang tidak lepas dari mudahnya segala akses informasi, benturan budaya. Kurangnya keteladanan pemimpin dan absurdnya etika budaya pendidikan. Maka, di hari jadi Kota Solo ini menjadikan kesadaran bersama menggelorakan revolusi etika budaya pendidikan yang membumi. Menggugah kembali kultur Jawa sebagai identitas menumbuhkan kembali entitas kepedulian wong Solo terhadap tata karma, tepa-slira, tanggap sasmita, nguwongke, unggah-ungguh, sopan santun, budi pekerti, dan sikap perilaku yang njawani. Warga yang baik perlu peduli, handarbeni (memiliki) dan nyengkuyung (mendukung). Semuanya tercapai dimulai dari pondasi dasar dalam pendampingan, pengarahan, pembimbingan dengan revolusi moral dan etika dalam pendidikan. Mendidik, membimbing, mengawasi, mendampingi, dan mengajar yang mengedepankan karakter etika, moral bukan perkara gampang. Secara kasat mata, perilaku menyimpang pelajar Solo pun tidak jauh dari kota besar yang lain. Namun, saat kesadaran dalam mengupayakan “menyelamatkan” kota dengan semangat budaya sebagai bagian dari membangun karakter. Bagaimana kita bisa membangun dan menata karakter mental budaya Kota Solo bila dalam salah satu sisi ranah pendidikan sendiri sudah terjadi degradasi moral, etika dan kepatutan. Pengaruh lingkungan, Narkoba, teknologi informasi, internet, dan contoh panutan negatif mudah sekali membius pelajar untuk mempraktikkan dan ikut ambil bagian. Begitu pula dengan keteladanan pemimpin yang masih dalam penyesuaian jati diri. Selain itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dan kemampuan untuk berani “menolak” segala ajakan negatif. Karena memang Solo dan warganya lebih mengutamakan budaya adiluhung yang sudah mengakar. Sehingga, dengan mudah melakukan antisipasi dan mengambil peran positif. Dan, pendidikan lah kunci dari membangun kesadaran bersama tersebut. Revolusi Maka, dedikasi pemimpin (pendidikan) akan diikuti oleh pelajar sebagai pondasi masa depan. Pelajar merupakan fundamen dari estafet generasi penerus sebagai pewaris nilai-nilai luhur karakteristik budaya. Upaya mengalihkan dengan perilaku positif (mencintai budayanya) butuh proses dan aplikasi. Afiliasi segala program dalam mengantarkan idealisme dalam menata karakter pendidikan. Perubahan perilaku budaya pendidikan, belum juga berfokus pada substansi yang diharapkan. Pelajar Solo wajib membenahi mentalnya untuk belajar dengan baik. Kesadaran agar pelajar mempunyai kepedulian dan penghormatan terhadap sesama, kepada lingkungannya, menghargai ketertiban, mematuhi kedisiplinan dan tatanan kehidupan sebagai warga kota. Revolusi dengan tidak melupakan sikap perilaku dalam menghormati, saling menolong, membantu dan menghargai orang yang lebih tua. Sikap ramah-tamah, tepa slira, tenggang rasa, menyapa, senyum, salam, salim (berjabat tangan), dan andap asor serta berperilaku sopan menjadi pola perilaku sehari-hari. Sebab, itu semua merupakan budaya adiluhung yang selalu menjadi pandora bersikap dan berperilaku. Apa yang dikatakan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani harus dibumikan dalam kesadaran hakiki pendidikan Kota Solo. Fundamental sikap, mental, perilaku yang menjadi pengayom, pedoman, dan pandora untuk menghadapi segala perubahan yang secara radikal menggerus jiwa, semangat kaum muda. Oleh karena itu, kebutuhan revolusi etika budaya, pelibatan pendidikan harus dilakukan secara holistik. Pembenahan dalam kurikulum melalui Muatan Lokal (Mulok) pendidikan karakter Solo mulai dibangun. Seperti halnya pencanangan Kota Vokasi dan inklusi sebagai bentuk revolusi budaya pendidikan. Dukungan implementasi Peraturan Daerah (Perda) pendidikan tidak hanya mengejar prestasi akademik, (knowledge), tingginya kelulusan dalam UN, kemegahan bangunan sekolah, hingga berbagai sekolah rintisan. Namun, tuntunan sikap, moral, etika dan kepedulian kepada pendidikan anak berkebutuhan khusus sebagai bentuk realita pendidikan untuk semua. Upaya mengoptimalkan ciri khas (karakter) pendidikan Kota Solo, yakni dengan perubahan perilaku, sikap, perbuatan dan kesadaran dalam membangun integritas budaya yang penuh dengan etika. Nilai-nilai khas budaya Kota Solo yang tetap adiluhung, menjadi penting ditumbuh kembangkan, dipupuk, disemai dalam perilaku kehidupan dunia pendidikan. Revolusi etika, moral, sikap dan perilaku yang menjadikan wajah pendidikan dan perilaku dari mereka yang tergabung dalam kehidupan menjadi nyata dan riil. Harapannya, pendidikan Kota Solo semakin berkarakter. Berbagai perubahan budaya, rambu-rambu sikap adiluhung, contoh keteladanan menjadi kunci utama dalam menata mental spiritual. Khususnya kaum pelajar yang tidak mudah terprovokasi dengan segala iming-iming budaya instan yang menjerumuskan. Marilah kita bersama membangun kehidupan yang bersah dan berbudaya. Gerakan bersama dengan semangat untuk berubah sebagai upaya revolusi budaya pendidikan. Selamat ulang tahun Kota Solo, semakin berdedikasi dengan menjadi Solo lebih bersih dan lebih berbudaya.

Saturday, February 08, 2014

Menjadi Pers "sehat"

dimuat OPINI harian Joglosemar 8 Februari 2014 oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro (penulis dan pemerhati media) Masa Reformasi keberadaan atau eksistensi pers di tengah masyarakat sangat dibutuhkan fungsi dan peranannya. Era kebebasan pers, transparansi optimalisasi keberadaan sarana komunikasi menjadi penting. Terjaganya fungsi utama pers sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan dan kontrol sosial (pasal 3 UU Pers). Pers yang bebas, merdeka dan mandiri terlepas dari intervensi negara merupakan bentuk pers “sehat” yang berani menegakkan dan memperjuangkan keadilan kebenaran. Berarti, pers yang berani membela ketidakadilan dan menindak kemungkaran. Pers yang menyuarakan denyut nadi, kehidupan dan kehendak rakyat. Pers bertanggungjawab itu, yang memiliki simpati dan empati terhadap masyarakat, terhadap perbaikan keadaan dan nasib, membela bagi yang lemah, miskin, tertindas, antikorupsi, aktif terhadap perubahan yang harus digerakan secara terus menerus. Dengan pers masyarakat menitipkan suaranya untuk disampaikan kepada, stakeholder (pemangku kepentingan) dan discissionmaker (pemegang kebijakan) di saat wakilnya (legislative) tak lagi sanggup mendengar dan melihat. Di saat pemerintahnya (eksekutif) tak lagi merasakan deritanya, dan pemegang palu keladilan (yudikatif) tidak lagi memihak keadilan. Pers , mewakili rakyat untuk menyuarakan suara Tuhannya. Vox populi vox dei, suara rakyat yang merupakan suara Tuhan. Bertambahnya usia Pers di tahun 2014 yang mengambil tema Pers Sehat, Rakyat Berdaulat, semakin nampak keseriusan, kesungguhan insan pers (wartawan) untuk tetap objektif, independen, egaliter, dan profesional. Khususnya, peran pers sebagai kekuatan keempat dengan tetap mengedepankan kenetralan di tahun politik. Pers mempunyai peran vital dalam mencerdaskan bangsa yang kritis, dinamis, partisipatoris dalam membangun kedewasaan berpikir rakyat. Karena awak pers selalu terlindungi UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, maka dijamin profesionalismenya tanpa terkooptasi pihak lain. Sehingga, benar-benar pers yang bertugas menjadi “anjing penjaga” demi stabilitas nasional kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari Pers Nasional (HPN) semakin menjadikan para pewarta memahami dan mengaktualisasikan perannya. Bahwa Insan Pers tidak hanya mengawal bangsa dan negara ini mulai jaman pergerakan, pendudukan jepang, revolusi fisik saja. Tetapi, kini pers juga harus ikut ambil bagian untuk menyadarkan dan membawa masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dalam koridor yang benar. Berbekal etika profesi yang bertanggung jawab, pers harus terus berupaya meningkatkan pengertian dan pemahaman bahwa kemerdekaan pers hakikatnya memang diabdikan kepada kepentingan rakyat. Maka Freedom for Press layak untuk terus diperjuangkan pers nasional sebagai wujud tanggung jawab dan pengabdian kepada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Pers harus kembali ke jati diri peranannya. Seperti tertulis dalam pasal 6 UU tentang Pers, bahwa harus memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Menegakkan nilai-nilai demokratis, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia serta menghormati kebhinnekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pejuang Kebenaran dan Keadilan Maka sejalan euforia reformasi jati diri pers sebagai pejuang dan penyambung “lidah” rakyat, harus menjadikan ruh perjuangan dalam menjalankan tugas. Dengan penyampaian berita yang berimbang (objektif) sekaligus mempertajam fungsi kontrol pada pemerintah bila terjadi ketidak adilan dankesewenang-wenangan. Sebab, di sinilah segala pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dijalankan sesuai dengan peranan pers. Jalan yang benar dilakukan dengan informasi yang objektif dengan dukungan data (dokumen), fakta serta akurasi informasi yang benar. Perjuangan demi pengabdian kepada rakyat tidak lepas dari upaya menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan melawan korupsi. Mendorong terciptanya supremasi hukum dan hak asasi manusia, menghormati keberbedaan (pluralitas), kepedulian lingkungan dan selalu mengangkat humanisasi (kemanusiaan). Upaya mengaktualisasikan kemerdekaan pers dari dan untuk rakyat. Segala informasi (berita) tetap tidak meninggalkan masalah sosial budaya, politik, ekonomi yang aktual secara universal. Sepanjang mempunyai relevansi dengan kepentingan rakyat. Begitu pula dalam penyajian berita mampu menjaga keseimbangan dinamika. Pers bukan alat kebohongan namun kebenaran dengan menguak segala masalah menjadi terang benderang. Apalagi, dengan dibukannya keran demokrasi dan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Citizen journalism (suara warga) menjadikan bahwa pers benar berjuang untuk rakyat. Semakin membuka pada masyarakat untuk terlibat memberikan informasi sesuai dengan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Peran masyarakat menjadi penting dan dibutuhkan untuk menjadikan pers semakin menempatkan diri sebagai pilar ke-4 demokrasi. Peran pers yang benar menjembatani atau menghubungkan antara pemerintah dengan masyarakat. Karena sebuah komunikasi yang tidak dapat disalurkan melalui jalur atau kelembagaan yang ada dapat dilakukan melalu pers (surat pembaca, opini, telepon, foto, video maupun SMS). Maka Pers yang sehat dan menjadikan rakyat berdaulat karena selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Berita yang memilki relevansi pemberitaan dan kesignifikanan kebutuhan demi pengabdian kepada rakyat. Dimensi relevance adalah magnitude yang dapat mengukur besaran berita dengan mempertimbangkan keterlibatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat itu sendiri agar aktif terlibat. Kooptasi dari berbagai kepentingan penguasa menjadi tantangan independensi pers. Pers alat pencerdasan dalam membangun watak bangsa (character building) di tengah masyarakat sebagai kontrol sosial. Tetap menyampaikan berbagai kritik yang bersifat membangun yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Keberanian mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa yang korup menjadikan kontrol, kritik, saran dan perdebatan menjadikan kepentingan rakyat terselamatkan. Karena besarnya peranan pers dalam mempengaruhi opini publik, dapat dikatakan bahwa pers terbukti sebagai kekuatan keempat demokrasi. Buktikan dan perjuangkan terus bentuk pengabdian nyata kepada pembaca (rakyat). Jadikan alat komunikasi suara rakyat sebagai aspirasi menentang kesewenang-wenangan. Rakyat masih perlu diperhatikan dalam kesejahteraan, keadilan dan kesehatan demi kemakmuran. Pers jangan takut menyuarakan rakyat meski banyak tekanan dan intimidasi. Selama di jalur yang benar dan pro rakyat, pers semakin membanggkan dan dicintai. Karena memang pers Indonesia berperan sebagai pejuang kebenaran dan keadilan serta berkedudukan sebagai pilar keempat demokrasi sehingga menjadikan pers “sehat.” Semoga!

Tuesday, February 04, 2014

Pemilih Buta Aksara dan Pileg

Dimuat dalam OPINI, harian Joglosemar (3 feb 2014) Masalah dilematis yang dihadapi oleh Negara berkembang termasuk Indonesia , karena masih banyak penduduk yang buta aksara. Sebuah data empirik yang terpublikasikan bahwa 40 % dari penduduk dunia dewasa masih buta aksara. Padahal kwantitas bangsa "melek huruf" menunjukkan kualitas bangsa itu, sehingga mampu bersaing dalam percaturan dunia. Persentase rata-rata nasional ketunaksaraan usia 15-59 tahun secara nasional berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 mencapai 5,02 persen dari jumlah penduduk di Indonesia yakni sebanyak 7,5 juta jiwa. Persentase rata-rata nasional ketunaksaraan usia 15-59 tahun secara nasional berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 mencapai 5,02 persen dari jumlah penduduk di Indonesia yakni sebanyak 7,5 juta jiwa. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) sendiri terus menggalakkan komitmentnya untuk mencerdaskan bangsa dengan menargetkan dapat menekan angka buta aksara hingga 5 persen. Optimisme itu berdasarkan perkembangan penekanan buta aksara berjalan tahun 2004 hingga 10 persen dan akhir 2008 menjadi 5,9 persen. Melalui program Pendidikan keaksaraan yang ditangani Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informasi (PNFI) Kemndikbud bertekad meningkatkan keberaksaraan penduduk dewasa (audult literaty). Kehendak membebaskan masyarakat bebas buta aksara sangat mendukung kesuksesan Pemilu Legislatif (Pileg). Pasalnya Pemilu 2014 sistem dan cara penggunaan hak suara berbeda dengan pemilu Legislatif tahun 2004. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu sistem pencoblosan nama Partai atau no. urut calon legislatif, nama calon legislatif dan Foto calon Dewan Perwakilan Daerah. Apabila jumlah warga yang masih belum mampu membaca dan menulis tinggi. Kemungkinan kertas suaranya akan rusak sehingga dikategorikan dengan golput prosedural (fenomena demokrasi yang tidak bisa dipenuhi). Kerusakan itu bukanlah kesengajaan tapi karena kondisi riil dari masyarakat yang masih belum melek aksara. Kekhawatiran ini sangat beralasan, sebab banyaknya caleg, minimnya sosilaisasi dan ketidak dekatan emosional (tidak kenal) antara caleg dengan pemilih. Sampai saat inipun penulis lihat banyak calon pemilih yang kebingungan. Sebagai contoh Pemilih Pemula (kaum terpelajar) di sekolah penulis saja masih bingung berkenaan partai peserta pemilu, nama caleg, tata cara pemilihan. Apalagi bagi pemilih yang masih buta aksara? Dimungkinkan kesalahan dalam penentuan pilihan dan ketidak mampuan mengingat, mengeja, memahami caleg yang sudah menjadi anganya buyar saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kerjasama Untuk meminimalisir Golput dari kelompok warga yang berkategori Buta aksara memang perlu kerjasama yang baik. Selain butuh kontinuitas sosilisasi, melalui pendataan dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terdaftar. Pendampingan, pembimbingan bagi para pemilih yang bingung oleh PPS. Bagi kategori buta aksara anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus ekstra kerja keras dengan menjelaskan tata cara membuka, mencoblos, melipat dan memasukkan kertas suara. Pengawasan, pendampingan dengan sukarela sangat diperlukan guna Pileg yang LUBER dan Jurdil. Upaya mewujudkn bebas buta aksara perlu kerjasama dari seluruh elemen bangsa. Kolaborasi kolektif dan holistik menjadikan sebuah kebutuhan. Sebab sinergi berbagai elemen (ormas/orpol), kalangan profesional, strata kehidupan dan budaya menjadi semua cita-cita cepat teraktualisasi. Tanpa dukungan, upaya inova-kreatif merupakan pencanangan program utopis demi meminimalisir suara yang rusak. Sehingga saat dibutuhkan seperti halnya dalam Pemilu legislatif, Kepala Daerah maupun Presiden tidak ada lagi keragua-raguan akan keabsahan dari suara para pemilih dengan sistem baru. Sebab warga negara bisa paham, mengetahui dan mengerti dari para calon yang sedang bersaing dan tata cara menggunakan hak suaranya. Bebas buta aksara dan Pileg perlu sekali pelibatan stakeholder pendidikan (mahasiswa, organisasi sosial (LSM), birokrat, pengelola dan pelaksana). Namun demikian upaya itu belumlah cukup tanpa diimbangi oleh keinginan penduduk yang belum melek huruf agar proaktif secara sadar terlibat di dalamnya untuk terus belajar. Butuh semangat dan kesadaran yang benar tumbuh dari pribadi masing-masing. Bisa membaca, menulis dan berhitung merupakan kebutuhan. Pelibatan tokoh masyarakatpun (ulama, pemuka adat, pastur, pendeta, rahib) juga penting. Sebab melalui sosok Kharismastik akan bisa membawa arah kemana biduk tujuan tersebut di bermuara. Berdasar jumlah melek huruf wilayah Solo Raya pada tahun 2005 masih sangat rendah kecuali kota Solo menjadikan sebuah kegalauan. Maka Tingkat Buta huruf sangat perlu ditekan serendah-rendahnya guna suksesnya pemberian suara Pileg 9 April 2014 dan Pilpres 9 Juli 2014. Karena sangat dibutuhkan kejelian, kepahaman, pengetahuan, ketelitian dengan kemampuan membaca dan menulis. Pengoptimalan pemilih buta aksara dengan mensinergikan kebutuhan budaya setempat menjadi penting. Sebab pola pikir yang telah berkembang berdasar alam lingkungan, tradisi, kebiasaan akan mudah beradaptasi. Dengan pemasukan pola-pola baru bersinergi situasi dan kondisi “alam budaya” dan tokoh lokal menjadi cepat ditangkat, dipahami dan diaktulisasikan. Apa yang menjadi harapan bersama bahwa pemilih buta aksara mempunyai nilai strategis dalam pileg. Sebab citra bangsa akan terangkat dengan SDM (Sumber daya manusia) yang berkualitas. Perlu diketahui bahwa tiap tahun HDI (Human Development Index) akan memberikan rekomendasi penilaian keberhasilan. Dari SDM yang mumpuni dapat meningkatkan perekonomian, kesejahteraan, daya saing, profesionalitas, kridibilitas dan kebudayaan masyarakat dalam menyongsong Pemilu. Upaya education for all (pendidikan untuk semua) dengan optimalisasi pemilih buta aksara tidak sebatas retorika belaka. Karena pendidikan yang dilakukan berdasar adaptif alternative merupakan kebutuhan bersama. Kelompok Buta Aksara dewasa harus masuk dalam Data Pemilih Potensial Pemilu (DP4), harapannya jangan sampai menjadi golput karena ketidakpahamannya dalam sistem dan tatacara Pileg 2014. Semoga. FX TRIYAS HADI PRIHANTORO Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakata